Dilahirkan dalam keluarga yang miskin membuat Jonathan Hutabarat harus bekerja keras sejak kecil. Sekalipun ia tahu bahwa orangtuanya mengasihinya, Jonathan menyimpan rasa pahit dan dendam karena ia harus melalui penderitaan yang seharusnya tidak dirasakan oleh anak-anak seusianya.
“Saya harus memanjat pohon kelapa setiap pagi kurang lebih 10 baru bisa berangkat sekolah. Hal itu saya alami selama kurang lebih sepuluh tahun. Saya lihat rekan-rekan saya, bangun tidur jam 6, mandi langsung berangkat sekolah. Tapi saya kok seperti ini, hal itu terasa sangat sakit dan saya sangat malu. Dalam hati kecil saya memang menyimpan dendam. Beberapa kali kalau saya memanjat pohon kelapa, sepertinya saya ingin melepaskan tangan saya. Karena kehidupan begitu pahit dan saya tidak berdaya. Apa bila saya tidak melakukannya akan terjadi masalah besar,” demikian tutur Jonathan.
Ayah Jonathan adalah pribadi yang keras dan disiplin, jika anak-anaknya salah pasti dipukuli. Itu sebabnya Jonathan sudah dituntut mandiri sejak ia kecil, baginya tidak ada waktu untuk bermanja-manja seperti anak-anak kebanyakan.
“Bagi saya Tuhan itu ngga ada. Tuhan itu ngga benar kalau penuh kasih,” ungkap Jonathan. Ditengah keputusasaannya, Jonathan memiliki sebuah permintaan pada Tuhan yang tidak lagi ia percaya. “Tuhan, biarlah saya jatuh atau tergelincir dan mati.
Tekanan kehidupan yang berat dan juga cara didik ayahnya yang keras telah membentuk Jonathan kecil menjadi pribadi yang kasar.
“Karena siapa yang kuat, siapa yang keras, itulah yang berkuasa,” demikian Jonathan mengungkapkan kepercayaannya.
Sudah lelah dengan kemiskinan yang ia rasakan sejak kecil, Jonathan yang telah bertumbuh menjadi pemuda memutuskan untuk pergi merantau dengan satu tujuan pasti, menjadi orang yang berhasil dan kaya.
“Saya mau menghalalkan segala cara, yang penting saya bisa kaya, bisa dapat uang, dan saya pikir dengan uang itu akan memberi saya kekuasaan.”
Jonathan tiba di ibu kota Jakarta dengan harapan yang besar, namun kenyataan tidaklah seindah mimpinya.
“Kejam ibu tiri, lebih kejam ibu kota. Itulah yang saya rasakan,” ungkap Jonathan. “Tidak ada yang menampung saya di Jakarta. Saya masuk dalam komunitas di terminal. Saya lihat tidak ada kasih disana, dan benar bahwa siapa yang kuat, siapa yang berani, dia yang hidup. Akhirnya saya masuk dalam komunitas pencopet.”
“Saya tidak lagi punya hati nurani ataupun belas kasihan. Saya tidak peduli siapa korban saya, yang penting saya dapat uang.”
Nama Jonathan semakin dikenal dalam dunia kejahatan karena sepak terjangnya. Bahkan ketika ia harus berada di balik jeruji penjara, hal itu tidak mengubahnya sedikitpun.
“Memang ketika pertama penjara itu mengerikan. Namun ketika kita masuk dalam kegelapan itu, yang gelap itu malah menjadi terang bagi orang-orang yang gelap. Dari penjara itu saya malah mendapat bekal untuk melakukan kejahatan yang lebih besar lagi.”
Sekeluarnya dari penjara, Jonathan langsung beraksi kembali. Namun kembali, kali ini dirinya tidak cukup beruntung.
“Kami tidak tahu kalau di dalam ada aparat. Jadi ketika kami melakukan penodongan itu, aparat tersebut melawan. Akhirnya kami kabur, dan massa mengejar kami. Tidak ada lagi pengharapan, karena hanya kematian yang sudah menunggu.”
Pukulan bertubi-tubi menghujam tubuh Jonathan dan seorang temannya yang melakukan penodongan itu. Massa seperti tak ada ampun lagi bagi pelaku kejahatan seperti mereka. Di saat menghadapi detik-detik kematiannya itu, tiba-tiba Jonathan mengingat sebuah kejadian di penjara.
“Saya mengingat kasih Tuhan yang pernah saya rasakan di penjara. Tuhan itu mengasihi saya, Dia mengasihi orang berdosa. Dia mau memberi kesempatan pada orang yang mau berubah. Pada saat itu juga saya berkata pada Tuhan, “Berilah saya kesempatan hidup, sekali ini saja kalau Kau inginkan saya untuk bertobat.””
Tuhan mendengarkan seruan Jonathan, sekalipun ia luka parah namun nyawanya selamat. Kali ini ia harus kembali ke penjara, disana ia mulai berpikir dalam-dalam tentang hidupnya.
“Ada terpikir bahwa saya harus bertobat. Bahwa saya harus mencari sesuatu yang disebut perlindungan yang abadi. Saya sadar bahwa saya tidak akan pernah menemukan itu..” terang Jonathan.
Dipenjara itu, ia terus bertanya-tanya apakah ia bisa menemukan perlindungan abadi itu. Hingga suatu saat ia bertemu seseorang.
“Saya bertemu dengan seorang rohaniwan di penjara, dia memberi saya pengajaran-pengajaran tentang pengenalan Kristus. Dia bukan hanya manusia, tapi juga Tuhan. Dia mengetahui hati kita, bahkan dikatakan sekalipun orangtua kita meninggalkan kita, tapi Dia sekali-kali tidak pernah meninggalkan kita.”
Disitulah Jonathan memutuskan, “Saya tidak tahu apa yang akan terjadi sekeluarnya saya dari penjara, tapi saya percaya Engkau Tuhan sanggup menolong aku.”
Setelah menjalani masa hukumannya, Jonathan mulai memperbaiki kehidupannya. Kini perubahan kehidupannya dapat dirasakan oleh istri, anak-anak bahkan mereka yang pernah mengalami masa suram seperti dirinya. Kini Jonathan memberikan hidupnya sepenuhnya untuk melayani orang-orang bermasalah dengan membangun sebuah panti rehabilitasi yang diasuh olehnya bersama istrinya.
“Kasih yang besar yang saya terima dari Kristus begitu luar biasa, dan saya akan membagikan kasih Kristus itu kepada mereka. Di dalam Kristus ada kasih yang sempurna. Ada kasih yang membawa kita kepada pengharapan dan kehidupan yang lebih baik.”
Sumber Kesaksian :
Jonathan Hutabarat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar