Namanya Gloria Atmaja, ia lahir dalam keadaan cacat karena mamanya gagal dalam usaha menggugurkannya. Jari-jari tangannya tidak lengkap, dan salah satu telapak kakinya tidak ada. Sedari kecil Gloria merasakan betapa pahitnya dilahirkan sebagai orang cacat, tidak jarang ia menerima hinaan dari teman-temannya.
“Ketika saya dikata-katain “buntung”, di ejek, saya tidak bisa melawan. Saya hanya terima nasib dan cuma nangis,” kenang Gloria.
Hati Gloria hancur, ia bertanya-tanya mengapa ia dilahirkan dalam keadaan cacat. Namun ia tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan, dan hanya bisa menangis menerima nasib.
Gloria bertumbuh dalam rasa minder dan rendah diri, sedangkan teman-temannya menikmati indahnya masa remaja.
“Masa remaja itu adalah masa yang tidak enak, apa lagi waktu ada pelajaran olahraga, itu sudah menakutkan saya. Udah gemetaran, keluar keringat ketakutan. Ketakutan saya adalah kalau senam harus lompat-lompat, itu susah. Saat itu tidak seorang temanpun yang mengajak main bersama atau mungkin belajar bersama. Jadi masa remaja saya hanya di rumah.”
Keceriaan, pesta, atau dansa yang merupakan sesuatu yang digandrungi oleh remaja seusianya saat itu, namun bagi Gloria hal itu hanyalah impian belaka.
“Saya satu hari diundang oleh seorang teman yang merayakan ulang tahun ke 17. Biasanya saya tidak mau, karena malu. Tapi hari itu saya memberanikan diri ikut.”
Hingga tiba hari yang ia nantikan, Gloria menunggu mobil yang akan menjemputnya. “Ketika mobil belum datang, tiba-tiba dalam pikiran saya ada kata-kata, ‘Wah, nanti kalau sudah sampai di pesta ambil makanan gimana ya?’ ‘Lalu kalau nanti saya jalan, ada orang-orang yang memperhatikan saya, jalan saya pincang, pakaian saya tidak baik, lalu nanti ada acara dansa bersama-sama, siapa yang akan memilih saya untuk ambil bagian dalam acara dansa tersebut?’ Sebelum mobil itu datang, saya sudah berurai air mata. Akhirnya saya pulang dan nangis, saya tidak pernah menikmati pesta itu..” tutur Gloria.
Gloria masih tidak bisa mengerti mengapa ia dilahirkan cacat. Ia lulus kuliah dan beruntung mendapatkan sebuah pekerjaan, namun di tempat kerjanya ia pun tidak bisa bekerja dengan baik karena masih dikuasai rasa takut dan rendah diri. Ia akhirnya mengundurkan diri dan mengalami depresi.
“Saya mengalami depresi berat. Tidak memiliki komunitas dan saya merasa tidak memiliki masa depan. Saya menyalahkan Tuhan, karena saya ada dirahim mama saya kan Tuhan yang menciptakan.”
“Kenapa Tuhan, Engkau ciptakan tubuh saya, kaki saya cacat?” Seru Gloria kepada Tuhan.
Berbulan-bulan Gloria berkubang dalam depresinya dan semakin putus asa hingga ia ingin mati rasanya. Hingga suatu hari seorang teman datang dan mengajaknya ke sebuah ibadah.
“Disanalah saya mendengar Injil, ‘Jalan keselamatan itu hanya ada di dalam Yesus Kristus.’Saat itu ada tantangan, ‘Siapa yang mau menerima Tuhan Yesus akan diselamatkan.’ Saya membuka hati dan kehidupan saya untuk menerima Dia sebagai Tuhan dan Juru Selamat.”
Saat Gloria semakin mendalami Alkitab, ia seperti dicelikkan akan jati dirinya yang sebenarnya. “Tuhan katakan bahwa saya itu berharga dan mulia di mata Tuhan. Tuhan kok ada ya seorang pribadi, yaitu Tuhan sendiri yang mengatakan saya berharga dan mulia. Pada hal saya memiliki seorang mama yang begitu dekat hubungannya dengan saya, tapi dia tidak pernah mengatakan bahwa saya special. Dia tidak pernah mengatakan saya luar biasa. Tapi ketika Firman Tuhan dibukakan bahwa saya berharga dan mulia, saya merasa dibebaskan.”
Baru saja Gloria diyakinkan akan jati dirinya di hadapan Tuhan, ia sudah harus menghadapi ujian. Suatu hari, seorang tantenya datang dan mengungkapkan penyebab cacat yang ia alami.
“Kamu cacat karena mama kamu mau menggugurkan kamu,” ucap tante Gloria.
Sebelum Gloria lahir, orangtuanya telah memiliki enam orang anak. Untuk itu, ketika diketahui bahwa ibunya hamil lagi, ayahnya ingin menyerahkannya kepada orang yang mau merawatnya. Tetapi sang mama tidak setuju, ia memilih menggugurkan kandungan tersebut. Sayangnya usaha pengguguran kandungan itu gagal, hingga lahirlah Gloria dalam keadaan cacat. Orang yang sebelumnya bersedia untuk mengangkat anak memutuskan untuk menolak karena Gloria lahir dalam keadaan cacat.
Mengetahui fakta bahwa dirinya ditolak oleh orangtuanya, muncul sebuah kebencian yang mendalam dihati Gloria, terutama kepada mamanya.
“Saya sangat terkejut dan marah, kok saya punya seorang mama yang punya hati jahat. Saya benci sekali akan mama saya.”
Namun saat kebencian menguasai hatinya, ada seorang pribadi yang mengingatkan Gloria akan pengampunan.
“Tuhan Yesus mengingatkan saya harus mengampuni, saya bilang ‘Tuhan, saya tidak bisa mengampuni mama saya. Ini sangat menyakitkan bagi saya..’ Terus saya bergumul untuk melepaskan pengampunan. Tapi firman Tuhan itu terus datang kepada saya, ‘Ampuni apapun yang dia lakukan, ampuni.’”
Berlahan-lahan Gloria belajar mengampuni mamanya. Bukan hanya diperkataan, Gloria mewujudkan pengampunannya dalam tindakan. Mulai dari belajar menyapa mamanya dengan tulus, makan bersama, menerima nasihat-nasihatnya bahkan merawat ibunya ketika sakit keras.
“Saya ngurusi segala sesuatu yang mama butuhkan ketika sakit. Akhirnya suatu hari mama mau menyerahkan dirinya kepada Tuhan Yesus, dan kami sungguh-sungguh mengalami pemulihan di dalam Tuhan.”
Kini, mama Gloria telah meninggal dunia dan Gloria terus melanjutkan hidupnya bahkan berkarya untuk menyadarkan banyak orang buruknya melakukan aborsi. Ia aktif melakukan penyuluhan bersama sebuah organisasi yang bernama Prolife.
“Sebagai rasa syukur saya, saya menyuarakan suara Tuhan. Memberikan penyuluhan ke sekolah-sekolah, universitas, gereja-gereja dan juga berbicara di instansi pemerintah. Tuhan Yesus sungguh berarti buat saya. Dia bukan hanya juru selamat yang dapat mengampuni dosa saya, Dia adalah Bapak bagi saya. Dia adalah seorang pribadi yang dapat mengubahkan kehidupan saya. Dia sangat luar biasa dalam hidup saya. Jika saya tidak bertemu dengan Tuhan Yesus, saya mungkin sekarang ada di rumah sakit jiwa. Walaupun saya cacat, saya bangga. Karena Tuhan menciptakan setiap pribadi hanya satu, pribadi yang dasyat dan unik.”
Sumber kesaksian :
Gloria Atmaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar